theasthenist

stories about lost in space called my head


Tinggalkan komentar

Sabtu Sunyi Suburban

Siang ini, tak banyak berubah dari ceritaku sebelum-sebelumnya…aku masih terduduk, menatap layar elektronik ini. Menatap semu langit Bali yang semakin kelabu. Entah bulan apa ini, seharusnya bulan April musim penghujan selesai dan bukan baru dimulai. Juni belum tiba dan udara sudah semakin mendingin.

Perumahan ini begitu sepi, Sabtu siang terasa mati.  Jejaring sosial dunia maya tak menunjukkan pergerakan aktivitas berarti. Apakah semua orang tertidur? Aku merasa ingin pergi ke Denpasar, Kuta, atau Tabanan jika cuaca cerah. Sudut studio ini pun terdiam, gitar-gitar itu teronggok di sudut ruangan, dekat sebuah meja kecil tempatku biasa meletakkan gelas. Ah, sisa wedang jahe semalam belum kubereskan…

Nada-nada lembut piano ini mengalun menemani siang yang nyaris mati ini. Membawa kembali kilasan lalu yang pernah terjadi di kota ini. Semua rentetan cerita, mengingatkan bahwa aku masih bisa menghirup udara segar pulau ini. Seharusnya aku bersyukur aku belum mati. Ya, puji Tuhan aku tidak jadi mengakhiri hidupku. Pagi demi pagi silih berganti membasuh setiap inci luka ini. Lampu kota yang menghiasi takkan pernah terganti, namun seperti proses yang harus dilewati…ada malam sebelum pagi.

***

Kembali lagi di sudut studio ini, menatap awan yang makin menghitam memenuhi langit. Seolah seperti tanpa teman. Kan, apa kubilang…sejenak saja kepala ini sudah mulai menyusun sebuah cerita penuh kebohongan. Seandainya jiwa baikku bisa terlepas dari raga lalu masuk kembali merasuk, aku bisa membunuh sisi jahatku sendiri. Ya, suara-suara itu memang kadang kian membangsat. Pikiran itu memang kuat, imajinatif, kreatif, namun kecil. Tak cukup kuat memahami dirinya sendiri, ciptaan Tuhan yang jauh lebih besar dari apapun dalam hidup di dunia ini. Dunia fana dn dunia maya, bahkan alam barzah sekalipun.

Hari ini aku baru menghabiskan nasi gorengku, menyadari lagi setiap detil nikmat rasanya. Hidup bahagia hanya sesederhana itu, angin sepoi-sepoi dari jendela kamarku, serta gurihnya kerupuk beras yang digoreng ibuku. Sabtu siang yang malas ini mengharuskanku beristirahat.

***

Padatnya aktivitas sepanjang minggu ini cukup melelahkan. Kadang aku berharap ada sebuah sapaan hangat untuk mengawali hari, dan menemani kepenatan dan mencari kesenangan, atau hanya sekedar menikmati ketenangan. Dalam diam.

Waktu yang berkata memang tak pernah berbohong. Sepi itu hanya tipu daya si kecil jahat Pikiran itu. Sesungguhnya aku cukup bahagia hari ini biarpun harus melewatinya seperti ini.

 Image


Tinggalkan komentar

Rotasi Nyaris Erosi : Putaran Tercepat – Hampir Tiga Puluh

Hampir sepuluh tahun sejak dia berusaha mengatasi persoalannya. Sepuluh tahun terlewat tanpa perubahan signifikan kurasa. Melewati berbagai cobaan dan masa-masa kelam rasanya sudah menjadi hal yang biasa, rutin, dan membosankan baginya. Siklus manusia normal sebagai mahasiswa dan bekerja telah dilaluinya. Dari bekerja di tempat wisata hingga tempat hiburan malam pernah disinggahi. Saat ini dia bekerja sebagai tenaga pengajar sukarelawan di sebuah tempat penampungan anak jalanan. Mengajari pengamen cilik bagaimana seharusnya menjadi seorang seniman profesional, layaknya rockstar yang biasa mereka tonton di televisi.

 

Hidupnya sungguh biasa sampai dia bertemu dengan iblis. Si Jahat itu menawarinya berbagai kenikmatan dunia sejak dia berada di tempat wisata. Lalu iblis membawanya ke tempat yang lebih tinggi. Tempat itu, aku tahu itu tempat hiburan malam yang merupakan salah satu pusat maksiat terbesar di kota ini. Gila, bisnis berkedok hiburan musik namun menawarkan prostitusi terselubung tentunya. Di sana dia digodai iblis untuk mencicipi hidangan istimewa yang tersaji di atas meja hidupnya.

 

Tak lama santapan pun ia kuasai dengan lahapnya, ditelan bulat-bulat setiap inci mangsa tersebut. Intensitas hidup yang seperti pesakitan dijalaninya dengan penuh keluhan. Layaknya doping atau zat adiktif lain, racun kenikmatan tersebut menggerogoti tulangnya. Lelah, manusia kota besar ini sudah lelah. Terlalu deras aliran beban hidupnya.

Akan lari ke mana dia? Kekerasan terus menghantuinya. Piring, gelas dan perabotan rumah lain selalu beterbangan saat darah tengah mendidih menggelegak. Iblis beraksi sambil menari bersama mangsa tak berdaya. Serigala kian melolong di malam Jumat berdarah. Seperti harimau terluka yang terkulai lemah, dia menyeret langkahnya kembali ke tempat kerja. Meninggalkan iblis, mangsa, serigala, dan segala perabot pecah itu jauh-jauh. Berkawan asap nikotin dan alkohol serta gemerlap selalu dilakoninya tanpa mengeluh kali ini. Makin lama malam semakin menggila. Vodka terbaik dari negeri Beruang Merah dituangkan sang bintang sambil menatap perempuan setengah telanjang menari memamerkan kemolekannya yang semu.

 

Sungguh lelah.

 

Pagi hari adalah harga mahal yang harus dibayarkan untuk dijadikan tumbal mingguan. Pagi hari terasa jauh lebih mahal dari kurban bakaran bagi Yang Maha Kuasa. Sekaleng susu murni dijadikan penawar di kala rasa mabuk sisa semalam masih terasa. Aku sungguh kasihan terhadapnya. Bergelimang harta namun hanya semu yang ia jalani setiap harinya. Berkencan bukan lagi pilihan yang ingin diambilnya untuk malam minggu yang kosong. Kosong ditelan hingarnya deburan ombak dentuman mesin-mesin surga itu. Tentunya surga di mata mereka, bukan Surga dengan S besar yang kuketahui. Dan dia masih sama. Bermasalah dengan dirinya sendiri.

 

Dia berkata, “Aku rindu, sentuhan itu terlalu palsu untuk kupahami”

 

“Lalu, apa yang kamu cari?”

 

“Kamu…,” jawabnya lirih seraya kehilangan kesadaran.

 

***

 

Pagi itu dia terbangun di dalam kamarnya yang sempit dan berbau apak. Dia pun menyadari bahwa inilah saatnya dia mengambil Panah Suci dalam lemarinya untuk membunuh sang Penunggu Kegelapan. Dibukanya laci yang terkunci rapat selama 10 tahun itu. Panah Suci dengan lambang Salib yang sudah berkarat. Bau karatnya seperti terbentuk ribuan tahun saja. Ya, ruangannya itu memang lembab. Digosoknya perlahan Panah Suci tersebut dengan kain lap buluk. Pelatuk dan picunya masih berfungsi, gagangnya masih nyaman digenggam. Papan selancar dan komputer canggih telah membuatnya lupa dengan barang keramat ini, hidupnya begitu hedonis hingga pagi itu tiba.

Pagi, memang merupakan sebuah impian baginya.

 

Impian yang membasuh luka sisa pertempuran melawan iblis dan pecahan botol vodka. Inilah dunia nyata, saatnya memanggil punggawa para malaikat dan mengumpulkan anak panah yang tersisa. Di malam yang ditentukan tersebut dia begitu takut, sampai harus bersujud sembah di hadapan altar suci sambil menangis. Namun Tuhan selalu besertanya, punggawa malaikat turun ke muka bumi dengan mengendarai sebuah mobil putih yang melaju di tengah kota, ditemani komandan pasukan mengemudikan mobil tersebut. Dan kulihat dia mengikat si iblis dan diseret dengan sepeda motornya. Di lahan eksekusi para malaikat berjaga menyaksikan iblis dibantai. Sambil menyeruput kopi hitamnya yang masih hangat, dia mengambil dua bilah anak panah tembaga yang dialiri listrik. Seketika, tanpa sedetik mata berkedip, tembakan telah mengenai sasaran. satu anak panah mengenai dahi si iblis dan lainnya tepat menghujam jantungnya.

 

***

 

Sejak kehancuran sang iblis, para malaikat kembali ke tempat mereka yang jauh. Dia kembali ke tempat hiburan malam tersebut, mengemasi semua berkasnya. Seketika memasuki ruangan Boss Besar dan mengguyur seisi ruang tersebut dengan whiskey tua termahal, melempar pemantik dan meninggalkannya begitu saja.

 

Kali ini dia tahu ke mana harus melangkah, dengan gitar yang disandangkan di bahunya, mendekati anak-anak yang malang itu dan bergabung bersama mereka, bernyanyi bersama di tengah deru perempatan jalan dan lampu merah.

 

Kini, sepuluh tahun terlewati tak percuma, dan dia terus bernyanyi dengan nada mayor dan minor yang mengalun seperti jalan hidupnya. Perlahan namun pasti, perubahan itu terjadi di hidupnya. Harta yang sejati ada di dalam hati, dan semoga tak ada apapun yang bisa mengubah pendiriannya lagi.

 

***

 

Dan aku terbangun, semua cerita di atas terasa bagai mimpi. Suara hati memang tak pernah bohong. Baik dalam mimpi maupun dunia nyata, sekarang aku tahu siapa diriku.

 

I know who I am.


Tinggalkan komentar

Genetika Baru

Saat ini, angin bulan Agustus masih sama dinginnya dengan angin bulan Juni. Hawa yang berhembus kencang ini masih membuatku enggan melepaskan pakaian hangat ku dari tahun ke tahun. Nikmatnya hangat mentari masih menjadi dambaan sesaat di setiap pertengahan tahun seperti ini. Secangkir cappuccino hangat selalu setia menemani ku. Kemarin aku baru saja terbangun dari sebuah tidur panjang yang nyaris menggerus sisi kewarasan ku. Aku tahu, semua ini juga merupakan andil dari kesalahan-kesalahan ku. Depresi dan Mimpi buruk selalu menghantui. Sampai suatu saat sebuah lagu mengalun di telingaku. Lagu yang bercerita mengenai Dia sebagai pusat kehidupan ini. Telah lama hidup ini menjauh dari jati diriku yang sesungguhnya. Sulit rasanya mengenali diriku ditengah peliknya drama yang terjadi; adegan demi adegan terekam jelas, terpatri dalam benak. Inilah waktu yang tepat untuk kembali pulang kurasa.

Dalam lagu itu, Dia diceritakan sebagai pusat dari segala apa yang kita lakukan selama ini, di mana terkadang kita melupakan Nya dan mengabaikan Nya dalam setiap detik keputusan yang kita ambil sebelum melangkah. Rasanya ini adalah sesuatu yang salah. Ya, salah besar. Mencoba untuk tenang mungkin tidak cukup. Sebuah keputusan radikal yang (seringkali dikatakan oleh orang pada umumnya dengan sebutan) pahit harus diambil dengan tegas. Mungkin ini akan membawa perubahan drastis dalam pola kehidupan yang akan kita jalani kelak. Namun inilah hidup, warnanya terus berganti, tak ada yang abadi selain pergerakan kehidupan itu sendiri. Perubahan ke arah (yang kita anggap) lebih baik tentu kita inginkan, bukan?

Sejak itu pagi dan malam tak pernah sama, kekosongan akan selalu bergelayut mencari jiwa-jiwa yang hampa. Menghempaskan diam dalam sebuah badai imajinasi yang hebat. Badai yang bisa mematikan jiwa di saat kita tidak mempunyai arah tujuan dan pegangan yang kuat untuk mengarungi nya. Ya, nada dan kalimat syair lagu itu berputar kembali dalam otak ku, bahwa Dia adalah pusat dari segalanya. Kemudian sebuah lagu lain menghantar ku dari gelombang pasang lautan hidup yang dalam. Saat ombak tinggi, aku terangkat oleh Nya, kakiku yang lemah ini ditopang di atas air. Mengharuskan aku untuk mempercayai Nya, bahwa inilah Air Yang Hidup, air yang membasahi kembali diriku dengan segar Nya.

Apa pun yang memiliki sebuah awal, pasti akan berakhir di dunia ini. Dengan segenap nafas yang telah dipurifikasi ini seyogyanya aku kembali dalam menjalani hidup ku dengan tenang dan terus berjalan di atas “air”. Sebab kehidupan yang padat ini dapat menenggelamkan kita seketika dalam khayal negatif yang bisa mematikan jiwa dan raga. Pastikan selalu langkah kita didasari oleh genetika baru yang kita miliki di dalam sini.


Tinggalkan komentar

Katanya…? Nyatanya…?

Cerita ini bermula di sebuah sore, tepatnya di bilangan sekitar lokasi sentra pariwisata di pulau ini. Senin sore hampir habis, detik jam membawa perubahan waktu menuju pukul 7 malam. Sepeda motor berhenti di bahu jalan, di dalam garis putih di lajur kiri. Tak ada yang salah, tak ada rambu dilarang berhenti atau dilarang parkir. Senja memang indah sampai pada akhirnya…

***

Sebuah mobil SUV yang cukup mewah menepi di belakang motor ini lalu membunyikan klaksonnya dengan nada menyentak. Diam, menoleh sejenak, tak jelas lalu diam. Hawa amarah tercium jelas, keluarlah seorang pria muda nan kekar dengan wajah tak bersahabat dari dalam mobil tersebut.

“Kamu ngerti arti kata ‘minggir’, nggak?”

“…,” sambil menatap dengan tatapan ‘aku-tidak-bersalah’ lalu berkat, “Oh anda mau parkir di sini? Mengapa tidak bilang dari tadi?”

“Kamu nantang saya? Saya anggota aparat.”

Aku tak peduli siapa dia. Aparat? Pengayom masyarakat? “Hmmmm…,” gumamku dalam hati. Lalu dia bertanya lagi,

“Orang dari mana, kamu?”

“Saya dari Utara”

“Asli mana kamu?”

“Utara”

***

“Maaf, Pak…kalau anda memang mau berhenti di sini harusnya anda menyalakan lampu sen”

“Kami berani nantang nih? Saya aparat, ini lihat tanda pengenal saya”

Aku tak mau melihatnya, kulihat saja sekilas. Sekejap aku mengambil kesimpulan bahwa orang ini bukan aparat, dan orang ini bodoh. Hanya bermodal badan besar dan bekingan yang kuat lalu berani mengancam orang lemah?

Secara fisik, tubuhku kecil. Aku pria dewasa muda yang tak terlalu tinggi. Hanya 165cm saja. Sedangkan dia tinggi, kekar khas pemuda anggota klub kebugaran, berotot, kurang lebih sekitar 175cm. Cukup besar untuk melumatku dengan sekali pukulan. Aku yakin pasti segera mencium tanah air.

“Saya kan memang berhenti di sini sedang menunggu teman”

“Kalau mau nunggu, ya tunggu saja di sana, jangan di tengah jalan begini”

“Kalau anda aparat, harusnya anda mengerti etika berlalu lintas dong, jangan sembarangan parkir tanpa menyalakan lampu sen lalu mengusir orang seenaknya. Di sini kan tidak ada rambu larangan apa pun, lagi pula ini bahu jalan dan saya berhenti di dalam garis putih”

***

Tak lama pandangan menjadi gelap. Aku tak melihat apa pun selain secercah cahaya terang di ujung atas sana. Sebuah cahaya kemenangan. Kemudian ku coba melihat ke bawah kembali, ku tinggalkan jasad yang akrab kulihat di cermin sedang tergolek berdarah di pinggir jalanan. Sebuah benda tumpul telah menghantam kepalaku dan setelah itu aku tak melihat apa pun sampai ku melayang dan akhirnya melihat sinar terang di ujung sana itu. Ini adalah kematian paling konyol yang mungkin bisa terjadi pada siapa saja di pinggir jalanan mana pun. Tapi kematian ini menunjukkan bahwa masih ada orang yang patut dikasihani macam orang tadi. Yang mana mereka memanfaatkan jabatan, kedudukan, materi, dan fisik mereka untuk menakuti-nakuti atau merendahkan orang lain. Itu justru menunjukan dengan JELAS, otak dan mental mereka lemah, persis seperti UDANG.

***

Kulihat kembali dari ketinggian, kini orang tersebut diamuk massa lalu diamankan petugas. Dan setelah terungkap, dia hanyalah anggota Ormas yang sering meresahkan masyarakat, pemilik identitas palsu. Seseorang yang kerap menggunakan atribut aparat demi menakuti orang lain dengan sifat ke-preman-annya tersebut. Seorang pencoreng nama baik aparat keamanan yang tugasnya mengayomi masyarakat. Ingat bung, bogem melayang, barbel bisa melayang kembali ke anda.

Sekian dan sampai jumpa di sisi yang lain…


Tinggalkan komentar

kumpulan kalimat ” MENATAP SEPATU “

menatap sepatu

tak pernah terlintas dalam benak
alam maya lepas membentang
sejauh kaki berlari ku menapak
hanya tanya bersirat gemintang

tak ayal kupertanyakan
akan kesendirianku
berdua dengan bayangan
hening dalam kalbu

sedangkan jiwa terapung dalam
ruang sunyi menghempas mimpi
batas anganku terkuak kelam
menyibak haru serpihkan diri ini

genggam, genggam
hisaplah nafas ini
terlalu dalam
terus menyelam

—————————————————————————————————————————-

utopia, negeri impianku

cars collide lips crashes

young and old
sleepin together
in the name of
photograph…

lights awaited
sounds delays
crashing vehicle
are bad dreams

opening eyes
stand and clap
your hands
ovations..

stories told
memories lost
these lips collide
and unstoppable.

—————————————————————————————————————————-

clouds above the pool

letters, regards, and sincerity
passes through the moment
that always meant for the city

sink me to the pool of reflections
gazing into my own eyes to see

standards are cheap but dozens are rare
standards to keep and dozens to share

and so on this story keeps goin’
as the palm trees tumblin’ down
to the fountain of coin throwin’

sink me to the pool of reflections
gazing into my own eyes to see

standards are cheap but dozens are rare
standards to keep and dozens to share

see me swimmin’
see me bathin’
see me…
see me…
see me…

—————————————————————————————————————————-

useless souls ballad

ghost don’t show off
affraid of thoughts inside
runaway the hilltop
just stay away and hide

rip off your sheet of white
move your shadow far

ghost don’t lay on
bet you can’t do nothin’
underneath the sun
go, so no one can find

rip off your shades of pale
move yourself so far

far away from home
far away from grace
run away from tears
run away from me…

—————————————————————————————————————————-

lalu terhilang di dalamnya

warnaku dirimu

warna,
kau beri malam
sebuah cerita
aneh yang berkata…

sebutkan semuanya
yang kau campurkan

dan warna,
sejukkan salam
seluruh raga
sisakan cahaya…

terbangkan khayalan
saat kau tiupkan

angin juni hembuskan
dingin yang tusukkan
segenap rasa
lupakan masa

lalu…

hembuskan warnanya
bebas kau melayang

—————————————————————————————————————————-

sementara hanya ini adanya…


Tinggalkan komentar

Cuma Cerita Biasa

“Hai kawan, aku menulis surat ini lagi. Apa kabarmu? Lagi-lagi malam ini aku kurang kerjaan, sendiri. Kadang aku malu. Malu kalau harus bilang kalau aku masih seperti ini. kalau kamu ada pasti kamu akan marah. Karena aku tidak mensyukuri apa yang kudapat. Kamu tau kan siapa aku sebenarnya?”

“Betul sekali, aku cuma mahasiswa biasa. Ah, aku tahu kamu nggak mengingat aku dengan jelas, karena aku tahu kamu nggak pernah baca suratku. Aku akan cerita lagi tanpa peduli kamu bakal tertarik atau tidak. Yang pasti kehidupanku sangat datar, tidak sedih, tidak marah. Tapi aku tidak juga senang.”

“Ingin sekali ada hal baru mengusik pemikiran terdalamku. Dan sebaliknya aku diam tanpa mencari tahu semuanya ini…Kuliahku sudah selama ini dan aku hampir lulus tahun depan, tentu kalau aku sanggup. Hanya saja aku merasa canggung dengan kedewasaan yang masih harus aku hadapi.”

*awkward silence*

“Tentu. Kehidupanku memang biasa sekali, nggak ada perubahan yang berarti dalam semua rencanaku. Tinggal di perumahan real-estate dan jalani hidup sederhana saja. Kacamata minus tiga ini hanya tampak luar yang aku pakai. Sisanya temanku hanya Bud dan Dud, ya, bukan “B” dan . Bud temanku sejak masa-masa sulit itu. Sekolah. Di sana nggak ada yang pernah benar-benar memperhatikan kalau kami itu ada, eksis. Kami bukan tipe orang yang bisa kelihatan menonjol diantara yang lain. Terutama aku yang selalu punya masalah pergaulan dengan orang lain. Aku benar-benar sulit untuk bisa dekat dengan orang.”

“Partner in crime-nya, Dud, playboy-nerd kelas kakap, hanya berani dengan wanita. Saat di depan umum dia grogi sekali. Aku heran. makan apa dia itu, bisa sebegitu lancarnya bercengkrama dengan wanita-wanita tercantik dan terpopuler di kampusku. Tampangnya biasa, otak pas-pasan, sama seperti kami, hanya saja punya perut bertonjolan enam dan sekitarnya. Dia satu-satunya channel kami mendekati para gadis. Apalagi aku yang begitu selektif dan pemilih.”

“Yang agamanya beda-lah, yang bawel orangnya-lah, atau keteknya bau-lah…dan sebangsa gerutuan tidak perlu dan alasan-alasan tidak jelas yang lain seringkali terlontar olehku setiap mereka menjodohkanku dengan gadis-gadis yang dekat denganku. Sindrom penyakit tidak tahu diri. Mereka pikir aku harus kursus kepribadian supaya mengerti dan paham arti kata bersyukur. Normally sick what I am. Ajari aku!”

*telepon berdering*

*telepon berdering*

*telepon berdering*

*telepon berdering*. Ah siapa ini? *klik*

“Halo? Halo?” Di seberang sana awkward silence juga, canggung, diam. Kereta api… *dan klik lagi*

Biarlah…intermezzo.

Back to verse, “Sialan, ganggu orang nulis surat. Aku baru saja dimarahi ayahku. aku harus ganti kacamata baru, minus-nya sudah bertambah kata dokter. Dan kamu tahu aku bandel orangnya. Susah diatur, keras kepala. Maklum, dari kecil aku selalu melihat pertengkaran tidak penting dari mereka. Iya, mereka, siapa lagi…kamu-tahu-siapa. Ah kenapa selalu seperti ini. Kita tahu ini kenyataan pahit. Aku pernah dekat dengan seseorang yang juga sama kerasnya denganku. Sayang sekali, ia sangat keibuan, care, politically numb, netral, sayang sekali, lagi-lagi-keras kepala. Capek.”

Aku lipat sementara kertas surat ini. Nyalakan TV. Tayangan buram berkuasa. Aku melihat infotainment. Bah, sampah macam apa ini? Aku heran acara begini tinggi ratingnya. Kampungan! Back again, “Kemarin aku baru saja bertengkar dengan sahabatku. Dia berkeras akan semua ceritanya. Aku tetap pada prinsipku.”

“Akhirnya dia tidak tahu harus berlaku seperti apa di depanku, dia bilang, “Entah apa yang merasuki kepalamu…Aku muak dengan semua kondisi ini, kamu kira pantas kita bicara seperti itu? Nggak, seenggak-enggaknya nggak. Okay? Aku capek!” ujarnya sambil pergi dan berlalu, yah…begitu terus kejadiannya. Kemudian ia menampar wajahku, sahabatnya ini dengan keras sampai-sampai aku jatuh, dan sejak itu dia nggak kelihatan lagi. Sudah tiga minggu sampai hari ini, selama ini pula hujan terus turun dengan lebat. Capek sekali.”

“Entah virus apa yang ada di kepalaku ini? Brontok? Trojan? Mama…mama…mama…tolonglah aku yang sedang bingung…merasakan virus-virus cinta…aaaaaaarrrrrrrrgggggghhhhhh…lagu bodoh karangan musisi jenius itu menghantuiku…aku merasa kosong dan tak punya ide lagi. Bagus sekali, kini aku menjalani semua dalam kesendirian lagi, kamu tahu aku sering menangis karena ini, teman-temanku pergi, tak tahan dengan sifatku. Aku tak pernah membenci mereka, tapi mereka sering merasa bahwa diriku-lah yang membuat mereka merasa mau membunuhku dengan menjatuhkanku ke dalam selokan besar di salah satu sudut kota. Ah, ironisnya diriku…”

“Aku ingin sekali menjadi bagian dari orang-orang cool itu, biarpun sebenarnya teman-temanku bilang aku keren juga, cuma terkadang terlalu nyebelin…huh…entah apa yang aku harus lakukan agar mereka makin mencintai aku. Kurasa aku harus meraih simpati mereka, kebetulan aku punya mangsa baru yang akan kulahap di depan para gadis itu besok, uh, aku ingin sekali makan gratis lagi seperti kemarin. Tunggu saja…”

“Lalu mereka sudah membersihkan kamarku, aku juga…entah darimana ide ini, aku ingin membersihkan barang-barang mereka. Topi, sepatu, dan piercing itu begitu keren, aku ingin memilikinya, sayang uangku bakal habis buat membeli kacamata baru itu. Aku juga ingin dugem dan bersenang-senang dengan teman-temanku itu. Ah, liar sekali.”

“Sudah deh sekian surat ini aku mulai ngelantur kayaknya…akan kukirim sekarang…bye…”

Setelah itu kulipat surat itu dan kuletakkan di kotak pos di depan rumahku…dan aku sadar bahwa selama ini mereka sudah membenciku, dan temanku cuma kamu…si kotak pos merah di depan rumahku…

 

 

-akhir sebuah ironi-

 

 

menangislah nak, karena semua membencimu!

saya mau jadi liar, tapi apakah saya sudah cukup liar?


Tinggalkan komentar

Generasi Jejaring Sosial

Kami adalah korban
Korban akselerasi waktu yang bernama kehidupan
Sementara waktu terus melaju mendekati gigi 5
Fase ini adalah fase yang sulit

Karena kami adalah generasi buatan instan
Terkadang kita lupa bahwa kecepatan kita hanya mencapai 4 langkah, tanpa gigi mundur

Secepat perkenalan yang dimudahkan
Mengenal wajah lebih mudah
Karena kami adalah generasi dunia maya
Dunia instan yang dapat tercipta dan diciptakan

Jarum jam berputar tak lebih cepat dari perputaran bumi
Nnamun deru nafas makin ter-mekanisir dan terkonsep organisasi konspirasi

Secepat menekan ikon bernama “add as friend”
Kami adalah robot-robot yang mencari arti hidup yang dibaptis atas nama “cinta”
Secepat itu perkenalan dan perpisahan terjadi
dan kami bukan manusia-manusia “tangguh” seperti anda

Mungkin kami rapuh
Ya, kami ironis, kami hidup di generasi yang berbeda
Dimana akselerasi anda saat itu baru mencapai gigi 3,
bahkan mungkin baru masuk gigi 2

Kami pun berusaha.
Kami sadar kami hanya memilik kecepatan 3 langkah seperti anda
tapi hidup kami tidak
Tidak

Inilah gambaran kami, generasi robotik yang ironis
Beraksi di dalam drama dunia maya
Hidup dalam laman jejaring sosial
yang tak jarang dipenuhi mahkluk maya yang palsu

This ain’t a jungle anymore
This is a big factory now
Where heart could be manipulated
Let’s hope it’s not the end of humanity

Kami takut segala kemudahan ini dapat mengacaukan kemampuan sensorik kami
di mana posibilitas motorik lebih menjanjikan
dan hanya memberikan stimulus sementara bagi sensor kami
Sensor yang bernama hati

Kami adalah korban
Korban keganasan ambisi para penguasa
yang membuat seluruh regulasi berputar cepat
yang akhirnya membawa dampak bagi seluruh aspek kehidupan kami

Secepat memasukkan gigi 5
dan melaju kencang di jalur bebas hambatan
Tanpa roda yang besar kau takkan bisa menggilas
Menggilas segala kemacetan

Kemacetan dalam otakmu


Tinggalkan komentar

Tolong sambar dia dengan petirMu

Aku muak. Orang ini selalu berkata-kata, tanpa perbuatan, tanpa pembuktian. Mengapa ia selalu menempel pada orang-orang penting? Apa pentingnya untukku? Lalu apa untungnya pula untuk dirinya? Seandainya saja pertemuannya dengan orang-orang penting itu bisa dimanfaatkan…semua takkan seperti ini. Prestise dan gengsi begitu berharga untuknya. Buatku aksi semacam itu hanya sampah, percuma tanpa hasil. Baiklah kalau memang segala kesempatan yang diberikan dapat memberikan nilai lebih untuk memperbaiki taraf hidup. Sungguh sulit hidup di jaman sekarang, terutama baginya.

Aib? Ya, ini memang sebuah aib yang kukuak ke permukaan. Sebuah kisah ironi yang ditegakkan di tengah hidup sehari-hari yang fana ini. Sepertinya percuma mengharapkan perubahan darinya. Ia hanya berkutat di seputar dirinya. Mau jadi apa? Ia punya segalanya, tampang, kepintaran, karisma, tapi…apa yang dilakukannya selain hanya duduk dan melakukan sesuatu yang tak berguna. Padahal segudang tanggungan telah dipikulnya bertahun-tahun. Seharusnya pria seperti ini sudah dewasa dan bisa menata hidupnya. Tapi ia tidak. Semakin tua sapu lidi itu, semakin keras pula karakternya. Tak ada kelenturan yang menghiasi.

Ada baiknya semua yang tercurah selama ini didedikasikan untuk segenap hal yang dapat memajukan dirinya. Setidaknya. Jika tidak, apalah arti dari segala talenta yang diturunkan padanya oleh Sang Maha Kuasa. Apa yang ada dalam benaknya? Apakah idealisme, ego, dan gengsi membuatnya begitu terkungkung dalam tempurung yang kecil? Akan lelah apabila kau mendengarnya membual, seperti diriku. Manusia bebal ini sungguh menghabiskan waktu.

Terkadang kuberharap akan ada sebuah petir yang dahsyat menyambarnya, sehinga otaknya yang kusut itu menjadi normal. Haruskah Sang Empunya kehidupan ini turun ke dunia lagi untuk kedua kalinya untuk menyelamatkan dirinya? Aku rasa iya. Itu sangat diperlukannya. Hidup ini janganlah disesali, lakukan sesuatu, bertindak. Paling tidak beranjak dari zona kenyamanan.

Destinasi hidup ini hanyalah kebahagiaan, dan definisi itu menuntut sebuah tindakan nyata yang harus diterapkan. Ayolah, bangun, bangun, bangun, haruskah tubuhnya keguncangkan begitu kencang supaya ia tersadar?

Atau perlu kupanggilkan dewa petir untuk menyambarnya? Hahaha…

-Denpasar, 2010


Tinggalkan komentar

Efek Domino

seperti para laskar yang slalu bernyanyi

“mimpi adalah kunci…untuk kita taklukkan dunia”

inilah hidup yang kita jalani

selama bumi masih berputar

semua masalah

ada sebab akibatnya

semua terlibat

benar ataupun salah

pastikan kita tetap tegar berdiri

terkadang amarah slalu mewarnai

mengusir mimpi membawakan perih

rangkailah nada, alunkan irama

nyanyikan syair pengobar semangat

ambisi semu bukan solusi

ambil langkahmu buang depresi

semua masalah

ada sebab akibatnya

semua terlibat

benar ataupun salah

pastikan kita tetap tegar berdiri

pastikan kita tetap tegar berdiri