“Hai kawan, aku menulis surat ini lagi. Apa kabarmu? Lagi-lagi malam ini aku kurang kerjaan, sendiri. Kadang aku malu. Malu kalau harus bilang kalau aku masih seperti ini. kalau kamu ada pasti kamu akan marah. Karena aku tidak mensyukuri apa yang kudapat. Kamu tau kan siapa aku sebenarnya?”
“Betul sekali, aku cuma mahasiswa biasa. Ah, aku tahu kamu nggak mengingat aku dengan jelas, karena aku tahu kamu nggak pernah baca suratku. Aku akan cerita lagi tanpa peduli kamu bakal tertarik atau tidak. Yang pasti kehidupanku sangat datar, tidak sedih, tidak marah. Tapi aku tidak juga senang.”
“Ingin sekali ada hal baru mengusik pemikiran terdalamku. Dan sebaliknya aku diam tanpa mencari tahu semuanya ini…Kuliahku sudah selama ini dan aku hampir lulus tahun depan, tentu kalau aku sanggup. Hanya saja aku merasa canggung dengan kedewasaan yang masih harus aku hadapi.”
*awkward silence*
“Tentu. Kehidupanku memang biasa sekali, nggak ada perubahan yang berarti dalam semua rencanaku. Tinggal di perumahan real-estate dan jalani hidup sederhana saja. Kacamata minus tiga ini hanya tampak luar yang aku pakai. Sisanya temanku hanya Bud dan Dud, ya, bukan “B” dan . Bud temanku sejak masa-masa sulit itu. Sekolah. Di sana nggak ada yang pernah benar-benar memperhatikan kalau kami itu ada, eksis. Kami bukan tipe orang yang bisa kelihatan menonjol diantara yang lain. Terutama aku yang selalu punya masalah pergaulan dengan orang lain. Aku benar-benar sulit untuk bisa dekat dengan orang.”
“Partner in crime-nya, Dud, playboy-nerd kelas kakap, hanya berani dengan wanita. Saat di depan umum dia grogi sekali. Aku heran. makan apa dia itu, bisa sebegitu lancarnya bercengkrama dengan wanita-wanita tercantik dan terpopuler di kampusku. Tampangnya biasa, otak pas-pasan, sama seperti kami, hanya saja punya perut bertonjolan enam dan sekitarnya. Dia satu-satunya channel kami mendekati para gadis. Apalagi aku yang begitu selektif dan pemilih.”
“Yang agamanya beda-lah, yang bawel orangnya-lah, atau keteknya bau-lah…dan sebangsa gerutuan tidak perlu dan alasan-alasan tidak jelas yang lain seringkali terlontar olehku setiap mereka menjodohkanku dengan gadis-gadis yang dekat denganku. Sindrom penyakit tidak tahu diri. Mereka pikir aku harus kursus kepribadian supaya mengerti dan paham arti kata bersyukur. Normally sick what I am. Ajari aku!”
*telepon berdering*
*telepon berdering*
*telepon berdering*
*telepon berdering*. Ah siapa ini? *klik*
“Halo? Halo?” Di seberang sana awkward silence juga, canggung, diam. Kereta api… *dan klik lagi*
Biarlah…intermezzo.
Back to verse, “Sialan, ganggu orang nulis surat. Aku baru saja dimarahi ayahku. aku harus ganti kacamata baru, minus-nya sudah bertambah kata dokter. Dan kamu tahu aku bandel orangnya. Susah diatur, keras kepala. Maklum, dari kecil aku selalu melihat pertengkaran tidak penting dari mereka. Iya, mereka, siapa lagi…kamu-tahu-siapa. Ah kenapa selalu seperti ini. Kita tahu ini kenyataan pahit. Aku pernah dekat dengan seseorang yang juga sama kerasnya denganku. Sayang sekali, ia sangat keibuan, care, politically numb, netral, sayang sekali, lagi-lagi-keras kepala. Capek.”
Aku lipat sementara kertas surat ini. Nyalakan TV. Tayangan buram berkuasa. Aku melihat infotainment. Bah, sampah macam apa ini? Aku heran acara begini tinggi ratingnya. Kampungan! Back again, “Kemarin aku baru saja bertengkar dengan sahabatku. Dia berkeras akan semua ceritanya. Aku tetap pada prinsipku.”
“Akhirnya dia tidak tahu harus berlaku seperti apa di depanku, dia bilang, “Entah apa yang merasuki kepalamu…Aku muak dengan semua kondisi ini, kamu kira pantas kita bicara seperti itu? Nggak, seenggak-enggaknya nggak. Okay? Aku capek!” ujarnya sambil pergi dan berlalu, yah…begitu terus kejadiannya. Kemudian ia menampar wajahku, sahabatnya ini dengan keras sampai-sampai aku jatuh, dan sejak itu dia nggak kelihatan lagi. Sudah tiga minggu sampai hari ini, selama ini pula hujan terus turun dengan lebat. Capek sekali.”
“Entah virus apa yang ada di kepalaku ini? Brontok? Trojan? Mama…mama…mama…tolonglah aku yang sedang bingung…merasakan virus-virus cinta…aaaaaaarrrrrrrrgggggghhhhhh…lagu bodoh karangan musisi jenius itu menghantuiku…aku merasa kosong dan tak punya ide lagi. Bagus sekali, kini aku menjalani semua dalam kesendirian lagi, kamu tahu aku sering menangis karena ini, teman-temanku pergi, tak tahan dengan sifatku. Aku tak pernah membenci mereka, tapi mereka sering merasa bahwa diriku-lah yang membuat mereka merasa mau membunuhku dengan menjatuhkanku ke dalam selokan besar di salah satu sudut kota. Ah, ironisnya diriku…”
“Aku ingin sekali menjadi bagian dari orang-orang cool itu, biarpun sebenarnya teman-temanku bilang aku keren juga, cuma terkadang terlalu nyebelin…huh…entah apa yang aku harus lakukan agar mereka makin mencintai aku. Kurasa aku harus meraih simpati mereka, kebetulan aku punya mangsa baru yang akan kulahap di depan para gadis itu besok, uh, aku ingin sekali makan gratis lagi seperti kemarin. Tunggu saja…”
“Lalu mereka sudah membersihkan kamarku, aku juga…entah darimana ide ini, aku ingin membersihkan barang-barang mereka. Topi, sepatu, dan piercing itu begitu keren, aku ingin memilikinya, sayang uangku bakal habis buat membeli kacamata baru itu. Aku juga ingin dugem dan bersenang-senang dengan teman-temanku itu. Ah, liar sekali.”
“Sudah deh sekian surat ini aku mulai ngelantur kayaknya…akan kukirim sekarang…bye…”
Setelah itu kulipat surat itu dan kuletakkan di kotak pos di depan rumahku…dan aku sadar bahwa selama ini mereka sudah membenciku, dan temanku cuma kamu…si kotak pos merah di depan rumahku…
-akhir sebuah ironi-
menangislah nak, karena semua membencimu!